Transportasi kota di Indonesia masih jauh dari ideal. Pelaku usaha angkot bersiasat agar tetap hidup. Pemerintah mencoba memutus rantai soalan dengan angkutan masal. Masyarakat sebagian terpaksa memakai jasa angkot meski sejuta resiko menghadang. Sebagian lain masyarakat menantang idealismenya dengan menggunakan sarana angkutan publik atau angkutan pribadi yang pro lingkungan seperti sepeda. Sebagian lain tetap bertahan dengan transportasi pribadi dengan sejuta problematikanya.
Berita kecelakaan lalu-lintas yang melibatkan transportasi kota menyentak sanubari kita. Baru-baru ini Metromini (nama angkotan kota jakarta yang berwujud minibus 27 kursi) diberitakan menabrak sejumlah pengendara motor. Korban jatuh bahkan meninggal ditwmpat. Korban tergilas angkutan yang identik dengan laju kecepatan tinggi dan abai terhadap aturan lalu-lintas itu. Kisah tragis seperti ini seperti angin sore yang sebentar lenyap bersama petang yang menggelar. Tak ada langkah berarti yang dirasakan masyarakat. Kisah-kisah tragis kecelakaan angkot mudah di cari di dunia maya. Silakan googling dengan keyword “tabrakan metromini” atau “tabrakan koantasbima.”
Jika sempat naik angkutan umum 509 atau 510 Koantasbima dari lebak bulus ke terminal Kampung Rambutan, di situ akan kita pahami bagaimana potret angkutan kota Jakarta yang harus dibenahi segera. Angkot ini seperti pilihan terakhir: dibenci namun dibutuhkan. Dibenci karena layanan angkot ini sungguh jauh dari ideal. Minibus kuning itu dijalankan dengan brutal, cerita tentang rem yang mendadak blong juga acap terdengar. Sebagian pengemudi dan kru angkutan ini terlihat sebagai anak-anak muda yang berdarah panas. Jauh dari standar pelaku jasa layanan yang seharusnya mengetahui cara melayani pelanggannya.
Koantas Bima 509 kini bersaing dengan Transjakarta non tol yang sama-sama melayani jalur Lebak Bulus – Kampung Rambutan. Sedang 510 sejalur dengan Transjakarta Ciputat – Kampung Rambutan. Dengan kata lain perjuangan mencari penumpang dua jalur angkutan umum ini semakin berat. Akibatnya mudah ditebak, mereka akan mati-matian merebut penumpang dengan ‘menjemput’ mereka dimanapun mereka berdiri, mengendarai kendaraan dengan emosi tinggi dan bersaing dengan sesama mereka sendiri yang tak jarang berakhir kebut-kebutan. Tipologi ini sudah terjadi sebenarnya bahkan sebelum ada Bus Transjakarta.
Angkot mikro seberti Jalur Kebayoran – Ciputat atau kampung rambutan – Depok terkenal dengan gaya meteka berebut penumpang dengan mengendarai mobil ekstrim, saling serobot, menghalangi jalur pesaing atau sebaliknya, berhenti berlama-lama.
Cerita pengamen yang masuk di dalam angkot juga mewarnai ketidak-nyamanan layanan angkot Jakarta. Ambil saja contoh Bus Mayari Bakti AC Kampung Rambutan – Cileduk, atau Angkot no 40 Kampung Rambutan – Jati Asih, atau Koantas Bima 509 dan 510. Semuanya selalu diwarnai dengan masuknya pengamen yang tidak semuanya mengandalkan kemerduan suara dalam menarik sumbangan penumpang. Banyak diantara mereka yang terlihat menakut-nakuti daripada menghibur penumpang, atau dengan menyodorkan kesedihan melalui sorot mata bocah balita bahkan bayi.
Bertahan Hidup
Tulisan ini memang menyoroti ketidaknyamanan angkot, namun pesan yang ingin disampaikan adalah bahwa para pelaku angkutan umum ini harus berpikir lebih terbuka hingga bisa menghadapi persaingan yang makin keras ini dengan baik. hal pertama yang perlu dibenahi dari pelaku transportasi umum ini adalah ideologi tentang pelayanan dan visi kehidupan mereka. tak jarang sopir angkot mengidentikkan dirinya orang jalanan yang tak punya rumah kembali. Seluruh hidupnya ada di jalanan, sehingga manajemen emosi, manajemen keuangan dan manajemen sosialnya terbatas pada relasi mereka dengan para pencari kehidupan di jalanan. Memang tak semua pengemudi dalam posisi seperti ini. Kehidupan penuh di jalanan ini sepertinya memang konsekuensi dari kemacetan Jakarta yang membuat mereka harus berada di jalan sepanjang hari bahkan hingga larut malam.
Angkutan kota Jakarta memang sebuah sisi perjuangan bertahan hidup sebuah sektor usaha yang semakin terdesak. Namun keterdesakan merupakan buah dari konsep bisnis yang salah. Angkot dipandang sebagai bisnis produk daripada layanan hospitality atau layanan jasa yang menjual kenyamanan. Saat itu memang masyarakat dihadapkan ketidakadaan pilihan. Hal ini berlangsung bertahun-tahun, sehingga pelaku bisnis ini merasa sudah berada dalam jalan yang benar.
Manakala revolusi angkutan kota jakarta didobrak dengan dibangunnya jalur Busway tahun 2004 lalu, angkot mulai dihadapkan pada kenyataan baru. Belum lagi selesai hantaman angkutan nyaman yang terjangkau, datanglah layanan angkutan berbasis aplikasi internet. Maka posisi angkot makin terjepit, Sementara itu para pelakunya, terutama para pengemudi dan kru, sebagian besar masih terjebak dalam cara pandang lama dalam menjalani usaha ini.
Contoh kecil susahnya mereka beradaptasi dengan hal baru adalah, seperti diceritakan Harahap, pemilik angkot 40 Kampung Rambutan – Jati Asih. Ia mengungkapkan bahwa sangat susah mengajak pemilik angkot 40 untuk beralih menggunakan Bahan Bakar Gas (BBG) yang nyata-nyata lebih murah dibandingkan dengan bensin.
“Biaya bahan bakar sehari hanya lima belas ribu dengan BBG mereka lebih memilih 40 ribu dengan berbagai dalih,” katanya.
Penulis ingin sampaikan bahwa merubah cara pandang seperti mengganti BBM dengan BBG adalah salah satu cara betahan hidup di era persaingan ketat ini. Selain itu diperlukan langkah lain untuk tetap hidup dengan angkot. menurut penulis setidaknya hal-hal berikut adalah tambahannya.
- Mengorganisasi diri. Angkot harus bersatu bersepaham daripada bersaing di jalanan.
- Mengatur aliran angkot dalam satu jalur. Dengan mengorganisasi diri, maka aliran angkot seharusnya diatur sehingga tidak menumpuk dan penumpang menjadi nyaman. kepastian jam melintas juga menjadi informasi penting bagi penumpang.
- Melatih diri mengenai standar layanan.
- Sopan di jalan. Hal ini hukumnya wajib karena ugal-ugalan sesungguhnya hanya akan membuat penumpang enggan memilih angkot sebagai moda transportasi.
- Menggunakan alat komunikasi sebagai sarana saling menolong sesama angkot dalam mencari penumpang. Misalnya membuat grup whatsapp antara sopir angkot dalam jalur yang sama.
- Memberi pelayanan lebih kepada penumpang. Sebagai contoh, angkot di Balikpapan selalu melengkapi diri dengan tempat sampah di dalam kabin. Selalu mengingatkan penumpang akan tujuan, berhati-hati dengan copet, memberikan tarif yang standar dan masih banyak lagi.
- Menyediakan kotak tips. Kotak tips ini seperti kotak amal yang bisa dimanfaatkan oleh Penumpang jika ingin memberikan apresiasi kepada sopir karena memberikan layanan yang lebih dari standar.
Angkot tetap Strategis
Sampai saat ini angkot masih memiliki nilai strategis, karena geografis kota masih belum bisa terjangkau angkutan masal dengan mudah. Angkot sebagai pengumpan tetap diperlukan. Ojek online mungkin bisa menjadi pesaing, namun jika angkot bisa diandalkan dengan layanan yang manusiawi, bukan tidak mungkin banyak penumpang yang memilih angkot daripada ojek online, karena tarifnya masih lebih murah.
Pemerintah harus serius mengurus angkot sebagai darah kota, yang menggerakkan sebagian ekonomi daerah. Pembinaan dan pengaturan harus dirancang dengan tujuan membuat pelaku bisnis angkot daru pemodal hingga kru memiliki harkat kemanusiaan yang memadai. Ujungnya mereka menjadi manusia yang bertanggungjawab ketika berada di jalanan.***